Senin, 26 Maret 2012

Reforma Agraria dibutuhkan demi kesejahteraan petani.


Reforma Agraria atau dalam pengertian terbatas dikenal sebagai landreform yaitu pendistribusian (pembangian) tanah kepada rakyat. Sedangkan istilah ‘agraria’ berarti urusan tanah pertanian (perkebunan), secara luas agraria adalah sumber daya alam berupa bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

 

Reforma Agraria dikenal sejak zaman Yunani kuno pada masa pemerintahan Solon 549 SM yang membagikan tanah kepada rakyatnya lantaran khawatir atas pemberontakan rakyat kerena tanah hanya dikuasai oleh segelintir bangsawan kaya, juga pada zaman Romawi Kuno ketika Tiberius Gracchus seorang wakil rakyat yang mengajukan lex Agrarian (UU Agraria) pada tahun 134 SM sebagai legitimasi negara mengambil tanah yang dikuasai melewati batas maksimum untuk dibagikan kepada petani kecil, dan Reforma Agraria-lah yang menjadi agenda utama Revolusi Perancis tahun 1787.


Atas dasar sejarah itulah yang menjadi inspirasi Founding Fathers membuat kodifikasi UUD 1945 sebagai landasan konstitusi berbangsa dan bernegara Indonesia dengan merumuskan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang tergantung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Begitu pula alasan kuat Presiden Soekarno mulai membentuk struktur agraria Indonesia dengan membuat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 tahun 1960 pada 24 September 1960 yang mengamanatkan bahwa Negara mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan bumi, air, dan tanah milik Negara digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.



Agraria (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) sudah seharusnya dikuasai oleh Negara yang diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh rakyat, karena tujuan dibentuknya Negara (teori Negara) adalah untuk Material Rechtstaat yaitu mencapai kemakmuran rakyat, serta memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan merata bagi tiap manusia dalam sebuah Negara, sedangkan alat-alat produksi dan distribusi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dimiliki oleh Negara (sesuai Pasal 33 ayat 2 UUD 1945) bagi kesejahteraan seluruh rakyat.

Termasuk pengaturan dan peruntukkan tanah Negara harus didistribusikan untuk kepentingan rakyat. Agenda Reforma Agraria adalah milik rakyat dan untuk rakyat. Reforma Agraria bukan hanya sekadar berbicara masalah tanah dan bagi-bagi tanah untuk rakyat, tetapi membicarakan struktur perekonomian suatu Negara dan peradaban suatu bangsa. Bagi Negara yang ingin maju harus melakukan reforma agraria terlebih dahulu sebagai modal ekonomi rakyat, karena Yunani bisa menjadi peradaban besar, Romawi menjadi Imperium kuat, Inggris-Perancis-Rusia menjadi raksasa dunia, Amerika-Jepang-Korea Selatan-Taiwan menjadi Negara Industri karena telah melakukan reforma agraria. Jika tidak, kemajuan hanya akan menjadi progress floating, fatamorgana, atau kemajuan yang menipu, kemajuan di permukaan tetapi keropos di dalam, artinya kemajuan tidak dirasakan oleh rakyat, rakyat hanya menjadi penonton sebuah drama kemegahan yang diperankan oleh orang lain.


Industrialisasi ekonomi suatu Negara harus melalui proses pembentukan struktur agraria yang pro kesejahteraan rakyat, sehingga industrialisasi ekonomi tidak menjadi liberal yang menjadikan bumi, air, mineral dan sumber daya alam, hutan , tanah perkebunan dan pertanian hanya dikuasai oleh segelintir pemodal dan pihak asing, sedangkan rakyat sendiri tergusur dari tanah dilahirkan. Pada akhirnya sekarang rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan USD2 sehari atau setara Rp18.000, padahal ada 1 persen kelompok elit politik dan pemodal yang hidup glamour di atas penderitaan rakyat mayoritas. Ini adalah sebuah indikasi bahwa kemajuan Industrialisasi dan struktur ekonomi kita berada di rel yang salah. Perlu kita kembalikan ke jalan yang lurus melalui redistribusi kepemilikan dan peruntukkan agraria (bumi/tanah, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) atau yang kita sebut Reforma Agraria.



Ketika Reforma Agraria diagendakan untuk kepentingan rakyat, maka tidak ada masyarakat desa yang lapar karena kemiskinan, yang menganggur karena tidak ada lapangan kerja, yang migrasi ke kota untuk menjadi buruh outsourching (kontrak), yang menjadi TKI atau TKW sebagai kuli dan pembantu. Lantaran tanah, hutan, pegunungan, pantai, pesisir, dan lautan Indonesia yang begitu luas akan menjadi sumber kehidupan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan malah dijual dengan harga murah kepada perusahaan swasta dan asing, sedangkan Negara hanya menjadi alat kapitalis/pemodal untuk menindas rakyat seperti yang dirasakan oleh rakyat Bima dan Mesuji, serta jutaan petani, buruh, nelayan kita lainnya.



Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sudah tidak dihiraukan oleh rezim Negara pro kapitalis, sudah dipetieskan, setelah amandemen ke-4 disusupkan pasal 33 ayat 4 di UUD 1945. Sehingga menjadi legal standing lahirnya UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Penanaman Modal Asing, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, UU Migas, UU Minerba, UU Telekomunikasi, UU Listrik, dan UU Pengadaan tanah yang baru saja disahkan oleh Pemerintah bersama DPR yang melegitimasi penguasaan asing dan pemodal terhadap seluruh sumber daya alam Indonesia.



Mungkin ada benarnya ketika para aktivis berteriak meminta dikembalikannya UUD 1945 pada khittah-nya; yaitu UUD 1945 yang asli sebelum diamandemen. Karena semangat UUD 1945 yang dirumuskan Founding Fathers yaitu dekolonialisasi, deimperialisasi, dan deliberalisasi. Sedangkan UUD 1945 kita sekarang setelah direkayasa sedemikian rupa melalui empat kali amandemen telah menjadi pintu masuk neoliberalisme, neokolonialisme, dan neoimperalisme yang menyengsarakan rakyat.


Sabtu, 24 Maret 2012

Land Registration (Cadastre): Pendaftaran Tanah (Kadaster)




Tugas-tugas Pendaftaran Tanah:
(Dilaksanakan oleh Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota)

The Land Registration Tasks:

1. Pengukuran, Pemetaan dan Penerbitan Surat Ukur (SU)
2. Penerbitan sertipikat hak atas tanah yang berasal dari:

>>a. Konversi dan Penegasan Konversi atas tanah bekas hak-hak lama dan hak milik Adat;
>>b. Surat Keputusan pemberian hak atas tanah;
>>c. Pengganti karena hilang atau rusak;

3. Pendaftaran Balik Nama karena Peralihan Hak (jual beli, hibah, waris, lelang, tukar-menukar, inbrenk, merger, dll.)
Peralihan Hak4. Pendaftaran Hak Tanggungan (dahulu: Hipotik)
PembebanHak5. Penerbitan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT)
SKPT6. Pemeliharaan data, dokumen/warkah, dan infrastruktur pendaftaran tanah.
The History of Land Administration:
At the third page before, we explain a general description concerning the land tenure system in Indonesia in the past, below its administration system was documented as conducted through four systems:

Pada halaman ketiga situs ini kami telah mengetengahkan sistem pemilikan tanah di Indonesia di masa lalu, berikut ini diuraikan mengenai empat tahapan dari sistem administrasinya:

First,
The administration system for communal land particularly in the remote areas was conducted through the (retentive) memory of the had of the village. The cadastral technology such as cadastral maps and records were not known yet.

Pertama,
Sistem administrasi untuk tanah komunal (milik bersama) khususnya di desa-desa sangat tergantung kepada ingatan kepala desa setempat. Teknik kadaster seperti peta dan dokumen belum dikenal.

Second,
For customary owned land, particularly those in the productive and urban areas, a land taxation system has already been introduced since early nineteenth century, in 1811. As part of this introduction of land taxation system, the cadastral survey for fiscal purposes was also introduced. However, this cadastral survey was not accurate for legal purposes. This inaccurate survey was applied for example in dividing land parcels without performing any necessary survey. In this case, the legal security relies more on the witness rather than on the documented cadastral records. In this phase, the administration of land record management did not provide sufficient documentation for legal security purposes.

Kedua,
Untuk tanah milik adat, khususnya di daerah perkotaan dan produktif telah mengenal sistem pajak tanah sejak awal abad ke sembilanbelas, yaitu tahun 1811.
Sebagai konsekuensi nya, maka sistem pengukuran kadaster juga telah mulai dikenal, meskipun belum cukup akurat untuk kadaster hukum. Hal ini karena umumnya pengukuran tanah untuk keperluan pajak tidak teliti sebagaimana yang dipersyaratkan untuk kepastian hak. Dalam hal ini jaminan kepastian bergantung kepada kesaksian dan bukan dokumen resmi kadaster. Dalam periode ini administrasi pertanahan belum dapat menjamin kepastian hak.

Third,
The other administration system managing the land owned by the colonial agencies was carried out by the Public Works Agency. This administration contained only the data provided by the land agency without any documentation for legal security.

Ketiga,
Sistem administrasi pertanahan kolonial yang lain adalah yang dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum, namun demikian hanya merupakan himpunan data fisik tanpa ada dokumentasi hak atas tanahnya.

Fourth,
The concept of legal cadastre was established since 1620. This system provides records of the administration and registration for the lands owned by the people subject to the Dutch law. The lands were completely surveyed and registered.

Keempat,
Konsep kadaster hukum mulai dikenal sejak tahun 1620.
Sistem ini mengelola dokumen administrasi dan pendaftaran atas tanah-tanah milik berdasarkan hukum Belanda. Di sini tanah-tanah telah diukur dan didaftar sebagaimana mestinya.
The Milestones of Cadastre
The history of cadastre could also recognized by four milestones:

Pre Cadastre Period (1626-1837):
The only data available on land record management was the records in the registration book without any supporting cadastral maps.

Masa Pra Kadaster (1626-1837):
Pada masa ini hanya dokumen yang tercatat dalam buku pendaftaran dan belum didukung dengan peta kadaster.

Old Cadastre Period (1837-1875):
The cadastral survey was carried out by the licensed surveyors who were not paid by the colonial authority.

Masa Kadaster Lama (1837-1875):
Pada masa ini pengukuran kadaster dilaksanakan oleh juru ukur berlisensi.

New Cadastral Period (1875-1961):
The land registration was carried out with the objective to provide legal security. An accurate cadastral survey has already been carried out by the government agency supported with the registration book. The documentation and land record have also been orderly managed.

Masa Kadaster Baru (1875-1961):
Pelaksanaan pendaftaran tanah di sini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hak. Pengukuran kadaster yang teliti telah mulai dilaksanakan dan diikuti dengan pembukuan hak yang telah dilaksanakan dengan tertib.

Modern Cadastral Period (1961-now):
The computer technology has been adopted thereafter. Most of the cadastral activities in land surveying, mapping, and registration which are involved data collection, acquisition, processing, and management make use of the computer capabilities. This period is then acknowledged as the Land Information or Cadastral Information period.

Masa Kadaster Modern (1961-sekarang):
Masa ini ditandai dengan pemanfaatan teknologi komputer. Hampir semua kegiatan dalam pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran tanah yang melibatkan kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan manajemen data menggunakan teknologi komputer.
Masa ini kemudian dikenal pula sebagai Era Informasi Pertanahan atau Era Informasi Kadaster.

<main source: Soni Harsono, State Minister of Agrarian Affairs/Head of the National Land Agency, 1993>
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Pendaftaran Tanah:
UU No.5/1960 tentang Pokok-pokok agraria
UU No.4/1996 tentang Hak Tanggungan
UU No.21/1997 tentang Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
UU No.20/2000 tentang Perubahan atas UU No.21/1997
PP No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah
PP No.37/1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
PP No.28/1977 tentang Perwakafan tanah milik
PP No.48/1994 tentang Pembayaran pajak penghasilan (PPh)atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah/atau bangunan
PP No.4/1988 tentang Rumah Susun
Peraturan MNA/KaBPN No.3/1997 tentang Ketentuan pelaksanaan PP No.24/1997
Peraturan MNA/KaBPN No.2/1998 tentang Surveyor berlisensi
Peraturan MNA/KaBPN No.5/1989 tentang Kewenangan penandatanganan Buku Tanah dan Sertipikat
Keputusan MNA/KaBPN No.9/1997 jo. No.15/1997 jo. No.1/1998 tentang Pemberian hak Milik atas tanah untuk Rumah Sangat Sederhana dan Rumah Sederhana
Keputusan MNA/KaBPN No.16/1997 tentang Perubahan hak Milik menjadi hak Guna Bangunan atau hak Pakai dan hak Guna Bangunan menjadi hak Pakai

The Land Titles: History, Types, and the Aquisition

Hak atas Tanah: Sejarah, Macam Hak, dan Cara Perolehannya

Historical backgrounds
The land ownership was proceeded by occupying an area which by the customary community usually called as the communal possesion. This kind of land, especially in rural areas outside Java were formalized by the diverse unwritten traditional land laws either based on geneological or on territorial relationships.
Along with the changes on socio-economic patterns in each community, this communal possesion was gradually charged by the customary society members through the shifting cultivation. The system of individual possesion had then involved within its communal possesion system.
This situation had occured in various kingdom and sultanates since the fifth century and developed at the arrival of the Dutch colony in the seventeenth century by their western concept of law.
During the colonial era, this individualization of land tenure stimulated the existence of dualism of land status. The one is the land under the customary land law and the other one is the land under tha western law. According to the colonial land law, the communal land and the customary possessed land were the domain's reserved land.
This law recognized also the indoividual rights such as the right of ownership which were valid only for those subject to the western laws. The land parcels having such rights existed generally in the urban areas, while in the rural areas usually it applied for the plantations. There were also some Domain Agencies land obtained through land acquisition.

Latar Belakang Historis
Pemilikan tanah diawali dengan munduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat Adat disebut sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya di wilayah pedesan di luar Jawa, tanah ini diakui oleh hukum Adat tak tertulis baik berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah.
Seiring dengan perubahan pola sosial ekonomi dalam setiap masyarakat, tanah milik bersama masyarakat Adat ini secara bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui penggarapan yang bergiliran.
Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal di dalam sistem pemilikan komunal.
Situasi ini terus berlangsung di dalam wilayah kerajaan dan kesultanan sejak abad ke lima dan berkembang seiring kedatangan kolonial Belanda pada abad ke tujuhbelas yang membawa konsep hukum pertanahan mereka.
Selama masa penjajahan Belanda, pemilikan tanah secara perorangan menyebabkan dualisme hukum pertanahan, yaitu tanah-tanah di bawah hukum Adat dan tanah-tanah yang tunduk kepada hukum Belanda. Menurut hukum pertanahan kolonial, tanah bersama milik Adat dan tanah milik Adat perorangan adalah tanah di bawah penguasaan negara.
Hak individual atas tanah, seperti hak milik atas tanah, diakui terbatas kepada yang tunduk kepada hukum barat. Hak milik ini umumnya diberikan atas tanah-tanah di perkotaan dan tanah perkebunan di pedesaan. Dikenal pula beberapa tanah instansi pemerintah yang diperoleh melalui penguasaan.
The Land Titles Today:
Hak Hak Atas Tanah Sekarang:

Berbeda dangan politik domein-verklaaring di masa penjajahan Belanda, dewasa ini tanah yang belum atau tidak melekat atau terdaftar dengan sesuatu hak atas tanah di atasnya, maka tanah tersebut adalah Tanah Negara. Di pulau Jawa, hal ini ditandai dengan tidak terdaftarnya tanah tersebut sebagai tanah obyek pajak di Buku C Desa, atau tercatat dalam buku Desa sebagai Tanah Negara atau GG (Government Grond).

Unlike the domein-verklaaring politics in the Dutch colony era, today any land which has no title on it is considered as State Land. In Java island, this is easy to identify when the land is not registered as a land tax object in a village C Book, or when it is stated as the State Land.

Jenis hak-hak atas tanah dewasa ini, adalah:

1. Hak Milik
2. Hak Guna Bangunan
3. Hak Guna Usaha
4. Hak Pakai
5. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
6.
Hak Pengelolaan
7. Hak Tanggungan di atas sesuatu hak atas tanah

How to Obtain a land Title?
Bagaimana Cara Memperoleh Hak Atas Tanah?

Memperoleh sesuatu hak atas tanah serta mendapatkan sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti kepemilikan dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu:

1. Konversi bekas Hak Lama dan tanah bekas Hak Milik Adat.
2. Permohonan hak atas Tanah Negara.

Catatan: Silahkan klik langsung halaman yang membahas ini secara khusus :> Konversi dan SK Pemberian Hak di bawah ini:

Konversi dan SK Pemberian Hak
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Hak atas Tanah:
UU No.5/1960 tentang Pokok-pokok Agaria
UU No.3/Prp/1960 tentang Penguasaan Benda-benda tetap milik perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB)
UU No.51/1960 tantang Larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya
PP No.40/1996 tentang HGU, HGB dan HP atas tanah
PP No.39/1973 tentang Acara penetapan ganti rugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya
Peraturan Presidium Kabinet No.5/Prk/1965 tentang Penegasan status rumah/tanah kepunyaan badan-badan hukum yang ditinggalkan direksi/pengurusnya (Prk.5)
Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
Keppres No.32/1979 tentang Pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak-hak Barat
Inpres No.9/1973 tentang Pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya
Peraturan MNA/KaBPN No.1/1994 tentang Ketentuan pelaksanaan Keppres No.55/1993
Peraturan MNA/KaBPN No.3/1999 tentang Pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara
Peraturan MNA/KaBPN No.9/1999 tentang Tatacara pemberian dan pembatalan hak atas tanah Negara dan hak Pengelolaan


Pendaftaran Konversi Bekas Hak Lama dan Hak Milik Adat dan Pendaftaran Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah:
Konversi Bekas Hak Lama dan Hak Milik Adat
>>> Pembuktian bekas Hak Lama dan Hak Milik Adat dilakukan melalui alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup oleh pejabat yang berwenang.

>>> Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian tersebut di atas, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik selama 20 (duapuluh) tahun atau lebih secara berturut-turut dengan syarat:
* penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka serta diperkuat oleh kesaksian yang dapat dipercaya;
* penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lain.

>>> Dalam rangka menilai kebenaran alat bukti tersebut dilakukan pengumpulan dan penelitian data fisik dan data yuridis atas tanah yang bersangkutan.

>>> Data fisik dan data yuridis tersebut kemudian diumumkan di kantor Desa/Kelurahan, kantor Kecamatan, Kantor Ajudikasi, Kantor Pertanahan, dan tempat-tempat lain yang dianggap perlu selama 60 (enampuluh) hari untuk permohonan rutin (sporadik) dan 30 (tigapuluh) hari untuk pendaftaran melalui proyek Ajudikasi (sistematik).

>>> Apabila melewati waktu pengumuman tidak terdapat keberatan atau gugatan dari pihak manapun, maka pembukuan hak dapat dilakukan dan sertipikat hak atas tanah dapat diterbitkan.

>>> Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran Konversi:
@ surat permohonan konversi
@ mengisi DI.201 dan formulir-formulir kelengkapannya
@ identitas pemohon
@ asli bukti pemilikan (salah satu dari yang ada berikut ini):
* grosse akta hak eigendom, atau
* surat tanda bukti hak milik berdasarkan Peraturan Swapraja, atau
* sertipikat hak milik menurut PMA No.9/1959, atau
* surat keputusan pemberian hak milik, atau
* petuk pajak bumi/landrente, girik, pipil, kekitir dan verponding Indonesia, atau
* akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda tangan kesaksian oleh kepala Adat/Desa/Kelurahan sebelum berlakunya PP No.24/1997, atau
* akta pemindahan hak yang dibuat PPAT, atau
* lain-lain alat pembuktian yang berlaku menurut ketentuan perundangan.

Pendaftaran Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah:
>>> Permohonan hak atas tanah dilakukan terhadap:

* Tanah Negara bebas: belum pernah melekat sesuatu hak
* Tanah Negara asalnya masih melekat sesuatu hak dan jangka waktunya belum berakhir, tetapi dimintakan perpanjangannya
* Tanah Negara asalnya pernah melekat sesuatu hak dan jangka waktunya telah berakhir untuk dimintakan pembaharuannya, di sini termasuk tanah-tanah bekas hak Barat maupun tanah-tanah yang telah terdaftar menurut UUPA.

>>> Sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik yang dimiliki. Data yuridis adalah bukti-bukti atau dokumen penguasaan tanah, sedangkan data teknis adalah Surat Ukur dan SKPT atas tanah dimaksud;

>>> Permohonan hak yang diterima oleh Kantor Pertanahan diproses antara lain dengan penelitian ke lapangan oleh Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia A atau B), kemudian apabila telah memenuhi syarat maka sesuai kewenangannya dan diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah.

>>> Pemohon mendaftarkan haknya untuk memperoleh sertipikat hak atas tanah setelah membayar uang pemasukan ke Kas Negara dan atau BPHTB jika dinyatakan dalam surat keputusan tersebut. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran SK pemberian hak untuk memperoleh sertipikat tanda bukti hak adalah:
* surat permohonan pendaftaran
* surat pengantar SK Pemberian Hak
* SK Pemberian Hak untuk keperluan pendaftaran
* bukti pelunasan uang pemasukan atau BPHTB apabila dipersyaratkan
* identitas pemohon


@ Hak Milik dapat diberikan kepada:
Warga Negara Indonesia,
Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah, misalnya:
Bank Pemerintah,
Badan keagamaan dan badan sosial yang ditunjuk Pemerintah,
>>> Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial atas tanah.
Jangka waktu berlakunya Hak Milik: untuk waktu yang tidak ditentukan;
Namun demikian, Hak Milik hapus apabila:
* karena pencabutan hak
* karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
* karena diterlantarkan
* beralih kepada orang asing
* tanahnya musnah

@ Hak Guna Usaha dapat diberikan kepada:
Warga Negara Indonesia,
Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
>>> HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
Jangka waktu berlakunya HGU: 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun, dan apabila waktu tersebut telah berakhir maka HGU dapat diperbaharui;

@ Hak Guna Banguan dapat diberikan kepada:
Warga negara Indonesia,
Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
>>> HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri.
Jangka waktu berlakunya HGB: 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, setelah waktu tersebut berakhir maka HGB tersebut dapat diperbaharui;

@ Hak Pakai dapat diberikan kepada:
Warga Negara Indonesia,
Orang asing yang berkedudukan di Indonesia,
Instansi Pemerintah,
Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia,
Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
>>> Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan.
Jangka waktu berlakunya Hak Pakai: 25 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, atau untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.

@ Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada:
Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah,
Badan usaha milik Negara,
Badan usaha milik Daerah,
PT Persero,
Badan otorita,
Badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah,
>>> Jangka waktu berlakunya Hak Pengelolaan: tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.

@ Hak Milik atas Satuan Rumah Susun:

Hak milik atas satuan rusun diberikan atas pemilikan rusun. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian atau bukan hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama dan tanah bersama.

Legal Cadastral Surveying:
Pengukuran Kadastral dan Penerbitan Surat Ukur:

Pengukuran Kadastral: Untuk Kepastian Hak atas Tanah
>>> Untuk menjamin kepastian hukum atas tanah, maka diselenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah RI. Pendaftaran dimaksud meliputi:
- pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah,
- pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihannya,
- pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (pasal 19 UUPA: UU No.5 Tahun 1960);

>>> Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (pasal 11 PP. No.24 Tahun 1997);

>>> Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi: pengumpulan dan pengolahan data fisik; pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertipikat, penyajian data fisik dan data yuridis, penyimpanan daftar umum dan dokumen;

>>> Kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik meliputi kegiatan pengukuran dan pemetaan, yang menyangkut: pembuatan peta dasa pendaftaran, penetapan batas bidang-bidang tanah, pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, pembuatan daftar tanah, serta pembuatan Surat Ukur;

>>> Pengukuran dan pemetaan dimaksud dilaksanakan bidang demi bidang dengan satuan wilayah desa/kelurahan. Sebelum dilaksanakan pengukuran, batas-batas tanah harus dipasang tanda batas dan ditetapkan batas-batasnya melalui asas kontradiksi delimitasi (dihadiri dan disetujui oleh pemilik tanah yang letaknya berbatasan langsung) dengan bidang tanah dimaksud.
Clear Glass Bouncing Feet Penerbitan Surat Ukur:
tanah1.jpg>>> Setiap bidang tanah yang diukur harus dibuatkan Gambar Ukurnya. Gambar Ukur ini berisi antara lain: gambar batas tanah, bangunan, dan obyek lain hasil pengukuran lapangan berikut angka-angka ukurnya. Selain itu dituangkan pula informasi mengenai letak tanah serta tanda tangan persetujuan pemilik tanah yang letaknya berbatasan langsung.

>>> Persetujuan batas tanah oleh pemilik tanah yang berbatasan langsung memang diperlukan untuk memenuhi asas kontradiksi delimitasi serta untuk menghindari persengketaan di kemudian hari. Gambar ukur ini harus dapat digunakan untuk rekonstruksi atau pengembalian batas apabila diperlukan di kemudian hari.

>>> Bidang-bidang tanah yang sudah diukur serta dipetakan dalam Peta Pendaftaran, dibuatkan Surat Ukur untuk keperluan pendaftaran haknya, baik melalui konversi atau penegasan konversi bekas hak milik Adat maupun melalui permohonan hak atas tanah Negara.

lir - ilir maha karya kanjeng sunan Kali Jaga



Karya besar (tembang Ilir-ilir) ini dibuat oleh Sunan Kalijaga, yang terkenal dengan dakwah Islam ala Jawa yang telah dikenal masyarakat pada zamannya hingga sekarang. Sunan Kalijaga ialah anggota Wali Songo (sembilan Waliullah) yang dikenal sebagai sosok bijaksana dan cerdas.Beliau adalah satu-satunya anggota Wali Songo yang asli keturunan Jawa. Oleh karena itu, dalam misi menyebarkan agama Islam, beliau menggunakan cara-cara kejawen yang mudah dimengerti oleh kalangan orang Jawa yang pada waktu itu masih ada pengaruh budaya Hindu. Dakwahnya tidak hanya dikenal di kalangan rakyat jelata, namun kalangan ningrat pun mengetahuinya. Oleh karena itu, beliau dikenal oleh kaum muslim yang fanatik sebagai pemimpin “Islam abangan”. Maksud “abangan” dalam konteks ini ialah (cara dakwah) tidak seperti Islam aslinya di Negeri Arab, khususnya dalam hal budayanya.
Kebijaksanaan dalam hal kebudayaan memang beliau ambil sendiri (diterapkan secara lokal). Bangsa Jawa saat itu memang murni Bangsa Jawa yang berkebudayaan Jawa, tidak perlu diganti dengan kebudayaan Bangsa Arab. Hanya dalam hal kepercayaan saja harus diganti dengan kepercayaan Islam, dengan pengertian yang dalam. Maka (pada waktu itu), seni dan kebudayaan Jawa tidak dihapus oleh Sunan Kalijaga, namun diberi warna Islam, upacara ritual seperti selamatan doanya diganti dengan doa Islam. Wayang kulitpun diubah sedemikian rupa bentuknya, sehingga tidak menyalahi hukum Islam. Hingga pada perjalanannya, beliau menghasilkan karya besar berbudaya Jawa dengan membuat tembang seperti Ilir-ilir dan Dandang Gula yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dakwah.
Tembang Ilir-ilir ini akan kita kaji lebih dalam dalam pembahasan ini, karena di dalamnya banyak sekali pelajaran-pelajaran yang patut kita teladani. Berikut adalah syair tembang tersebut :

ILIR – ILIR
Lir-ilir, Lir-ilir,
Tandure wus sumilir,
Tak ijo royo-royo,
Tak sengguh penganten anyar.
Cah angon – cah angon,
Penekno blimbing kuwi,
Lunyu-lunyu penekno,
Kanggo mbasuh dodotiro.
Dodotiro – dodotiro,
Kumitir bedah ing pinggir,
Dondomana jlumatana,
Kanggo seba mengko sore.
Mumpung padang rembulane,
Mumpung jembar kalangane,
Yo suraka, surak hiyo.
Syair tersebut sangat indah jika kita merenungkannya secara mendalam.
Nasihat Dibalik Tembang ILIR – ILIR
Tembang ini mengandung nasihat bagaimana untuk menjadi muslim yang baik. Secara garis besar tembang tersebut berisi:
· Bait pertama menerangkan mulai bangkitnya iman Islam.
· Bait kedua ialah perintah untuk melaksanakan Rukun Islam yang lima.
· Bait ketiga tentang taubat, memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan untuk bekal kelak.
· Bait keempat menerangkan tentang adanya kesempatan-kesempatan (yang baik).
Berikut adalah uraian-uraian secara rinci :
Uraian “Lir-ilir Tandure Wis Sumilir”
Kata Lir-ilir berasal dari bahasa Jawa “Ngelilir” yang bahasa Indonesianya ialah terjaga/bangun dari tidur. Maksudnya ialah, orang yang belum masuk (agama Islam) dikatakan masih tidur / belum sadar. Pada tembang di atas, kata “Lir-ilir, Lir-ilir” (diulang sebanyak dua kali), maksudnya ialah “bangun-bangun”, bangun ke alam pemikiran yang baru, yaitu Islam.
Sedangkan baris “tandure wis sumilir”, terdiri dari :
  • “tandure” berarti “benih” yang ditanam.
  • “wis sumilir” berarti sudah tumbuh.
Jadi, baris “tandure wis sumilir” sama dengan benih yang ditanam sudah mulai tumbuh. Benih di sini berarti iman, yaitu iman Islam. Pada dasarnya semua manusia yang terlahir di muka bumi ini telah dianugerahi benih berupa iman oleh Allah swt. Disadari atau tidak bergantung pada orang-orang yang bersangkutan. Jika orang yang bersangkutan tersebut “sadar” akan adanya benih itu dalam dirinya dan mau merawat dengan baik setiap harinya, maka benih itu akan tumbuh subur, tentunya akan menghasilkan buah yang baik pula. Perawatan benih iman itu dapat berupa :
  • Membaca Al Quran atau bacaan-bacaan Islam lainnya.
  • Menghadiri pengajian.
  • Mendengarkan khutbah mimbar agama Islam
  • Menjalin hubungan baik / silaturrahmi dengan sesama.
Masih banyak lagi pupuk-pupuk (makanan rohaniah) lainnya, yang tentunya dilaksanakan dengan penuh keikhlasan.
Uraian “Tak Ijo Royo-Royo, Tak Sengguh Pengantin Anyar”
“Tak ijo royo-royo” – Dibuat tumbuh subur, daunnya hijau nan segar. Maksud kalimat tersebut nampaknya menekankan “penampilan” tentang pribadi muslim yang menyenangkan. Adanya benih iman yang selalu dirawat yang menjadikan pribadi muslim sehat jasmani dan rohani. “Ijo-royo-royo” merupakan lambang tanaman yang subur karena dirawat dengan baik.
“Tak sengguh penganten anyar” – pengantin baru. Pengantin ialah pasangan mempelai. Analogi ini disangkutkan dengan manusia atas keyakinan imannya, yang baru bertemu menjadi pengantin. Pasangan / pengantin baru ialah orang yang sangat berbahagia hidupnya. Begitu pula dengan “tak sengguh penganten anyar,” orang yang telah bersanding dengan keyakinan iman Islam.
Jadi, maksud dari “Tak ijo royo-royo, tak sengguh pengantin anyar” berarti benih iman seseorang yang dirawat dengan baik akan menghasilkan seorang muslim yang baik pula. Kebahagiaan seorang muslim di sini ibarat pengantin baru.
Iman yang kokoh yang digambarkan dengan “tak ijo royo-royo” tadi, haruslah selalu dijaga dan dirawat dengan baik. Tumbuhan bisa tidak “tak ijo royo-royo” lagi bila terkena hama. Analogi ini bisa kita kaitkan dengan iman seorang muslim.
Penjagaan iman supaya tetap kokoh haruslah mampu menghalau hama-hamanya (contoh : tindakan kemungkaran). Berjudi, mencuri, zina, minum minuman keras, dan sejenisnya merupakan hama iman yang harus segera dibasmi.
Uraian “Cah Angon – Cah Angon, Penekno Blimbing Kuwi”
“Cah angon” berarti anak gembala. Kata-kata tersebut diulang bahkan dua kali, yang berarti di sini terdapat penekanan, adanya perintah yang penting. Perintahnya yaitu : “penekno blimbing kuwi” (panjatlah belimbing itu). Perintah ini diberikan kepada bawahan / kedudukan yang lebih rendah dari atasan / kedudukan yang lebih tinggi. Analogi ini sepintas berkesan “orang tua yang memerintah anaknya.”
Mengapa yang harus diperintah ialah “cah angon?” Ada gembala, pasti ada yang digembalakannya. Arti cah angon (bukan hanya anak semata) ialah manusia. Manusia yang sebagai gembala menggembalakan nafsu-nafsunya sendiri. Nafsu-nafsu yang dimiliki setiap orang ini, kalau tidak digembalakan, bisa merusak dan tentunya banyak melanggar perintah / aturan agama. Pribadi manusia haruslah bisa berperan sebagai gembala yang baik. Intinya, “cah angon” merupakan sebutan yang diperuntukkan untuk seorang muslim yang menjadi gembala atas nafsu-nafsunya sendiri.
“Penekno blimbing kuwi.” Ini bukan berarti harus memanjat buah belimbingnya, namun “panjatlah pohon belimbing itu.” Perintah yang harus dipanjat ialah pohon belimbingnya (untuk meraih buahnya). Timbul pertanyaan, mengapa harus belimbing yang dijadikan contoh di sini, kok tidak durian atau strawberi? Kita tahu bahwa belimbing mempunyai 5 sisi. Nah gambaran ini sebenarnya merujuk kepada rukun Islam yang lima, yaitu :
  • (Dua kalimat) syahadat
  • Mendirikan sholat
  • Membayar zakat
  • Berpuasa Ramadhan
  • Menunaikan ibadah haji
Uraian “Lunyu – Lunyu yo Penekno kanggo Mbasuh Dodotiro”
Bahasa Indonesia dari “Lunyu-lunyu yo penekno” ialah “Meskipun licin, tetap panjatlah” (baris ini berhubungan dengan baris sebelumnya “Cah angon-cah angon, peneken blimbing kuwi”). Licin merupakan sebuah penghambat bagi si pemanjat. Haruslah memanjat dengan sungguh-sungguh dan hati-hati. Jika tidak, maka akan tergelincir jatuh.
Sama halnya dengan perintah agama. Jika tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin bila tergelincir ke neraka. Analogi secara kasat mata, jalan turun memang lebih mudah daripada jalan naik, jalan menuju neraka lebih mudah daripada jalan menuju ke surga. Bukankan minum minuman keras, judi, berzina, berdusta, memfitnah lebih mudah daripada mencegah kemungkaran, mengerjakan sholat dan berpuasa? Namun, bagi “cah angon” yang taat, perintah Allah untuk memanjat “blimbing” tadi bukanlah beban dan bukan sesuatu yang berat baginya (untuk meraih buah yang lezat, yaitu surga).
“Kanggo mbasuh dodotiro” mempunyai maksud : berguna untuk membersihkan atau mensucikan kepercayaan kita, hingga benar-benar menjadi kepercayaan yang suci. Dodot ialah pakaian kebesaran di lingkungan kraton. Dodot = pakaian. Analogi ini diibaratkan sebagai “kepercayaan.” Pada zaman “WaliSongo” dulu, banyak orang yang memeluk agama Hindu, Buddha, dan Animisme. Hal-hal seperti itu dicuci dengan “iman Islam” oleh WaliSongo, hingga jadilah agama yang bersih dan benar yaitu agama Islam. Salah satu pembersihnya yaitu rukun Islam yang lima.
Uraian “Dodotiro – Dodotiro Kumitir Bedah ing Pinggir, Dondomana Jlumatana, Kanggo Seba Mengko Sore”
Keterangan sebelumnya menerangkan bahwa “dodot” untuk menggambarkan agama atau kepercayaan yang dianut. “Kumitir bedah ing pinggir” artinya : banyak robekan-robekan di bagian tepi.
Berikutnya terdapat perintah “dondomana jlumatana” – dijahit/diperbaiki. Pakaian yang rusak tadi hendaklah diperbaiki agar pantas dipakai lagi. Demikian halnya dengan kepercayaan kita. Bila rusak (karena dosa-dosa yang telah dilakukan), hendaknya diperbaiki dengan jalan memohon ampun kepada Allah (taubat) dan melakukan rukun Islam sebaik-baiknya. “Kanggo seba” mengandung arti : “datang, menghadap Yang Maha Kuasa, yaitu Allah.” Sedangkan “sore” mengandung maksud “akhir dari perjalanan.” Akhir dari perjalanan manusia.
Jadi, maksud dari “Kanggo seba mengko sore” yaitu : “untuk menghadap Allah nanti bila perjalanan hidup sudah berakhir.” Hikmahnya yaitu bagaima kita melaksanakan perintah dalam mengamalkan rukun Islam dengan baik sebagai bekal untuk menghadap Allah kelak ketika hidup sudah berakhir.
Uraian “Mumpung Padang Rembulane, Mumpung Jembar Kalangane”
Terjemahan Bahasa Indonesia-nya ialah : “selagi terang sinar bulannya, selagi luas tempatnya.” terang bulan yang jelas saat malam hari.
Tanpa cahaya bulan pada malam hari (tanpa penerang apapun) akan gelap gulita, tidak dapat melihat apa-apa. Maksudnya, disaat “gelap” orang akan sulit (bahkan tidak mampu) membedakan yang haq dan batil (mana yang baik/benar dan mana yang buruk/salah/haram). Namun, pada suasana gelap itu sesungguhnya terdapat “sinar penerangan” dari cahaya bulan (Sinar Islam), sehingga bisa nampak jelas mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang haq dan mana yang batil. “Mumpung jembar kalangane” – Luas cakupan sinar bulan, mampu menerangi daerah yang luas.
Jadi, maksud dari “Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane” adalah mumpung masih ada kesempatan bertaubat untuk meraih surga (menek blimbing) itu / untuk melaksanakan perintah agama, yaitu rukun Islam yang lima tadi. Hal ini dikarenakan dengan adanya Sinar Islam itu, kita bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kesempatan yang baik dan luas itu jangan sampai disia-siakan begitu saja. Semua itu merupakan ajakan untuk seluruh umat manusia agar melaksanakan kelima rukun Islam dengan baik dan benar.
Uraian “Yo Surako, Surak Hiyo”
Baris di atas (mari bersorak-mari bersorak) ialah ajakan untuk bersorak. Sorak merupakan ekspresi kebahagiaan dan kesenangan bagi yang bersangkutan. Mengapa harus berbahagia? Tak lain ialah karena ia sudah berhasil melaksanakan perintah “Peneken blimbing kuwi, lunyu-lunyu ya peneken.” Bahagia atau senang ini diperoleh sebagai hadiah dari pekerjaannya “memanjat belimbing itu” (surga).
Inti dari baris tersebut ialah, mengajak “Si Cah Angon” (seorang muslim) yang telah melaksanakan perintah “peneken blimbing kuwi” dengan baik, untuk berbahagia karena akan memperoleh pahala yang berupa surga.
Demikian uraian ini semoga bermanfaat bagi kita semua.