Senin, 26 Maret 2012

Reforma Agraria dibutuhkan demi kesejahteraan petani.


Reforma Agraria atau dalam pengertian terbatas dikenal sebagai landreform yaitu pendistribusian (pembangian) tanah kepada rakyat. Sedangkan istilah ‘agraria’ berarti urusan tanah pertanian (perkebunan), secara luas agraria adalah sumber daya alam berupa bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

 

Reforma Agraria dikenal sejak zaman Yunani kuno pada masa pemerintahan Solon 549 SM yang membagikan tanah kepada rakyatnya lantaran khawatir atas pemberontakan rakyat kerena tanah hanya dikuasai oleh segelintir bangsawan kaya, juga pada zaman Romawi Kuno ketika Tiberius Gracchus seorang wakil rakyat yang mengajukan lex Agrarian (UU Agraria) pada tahun 134 SM sebagai legitimasi negara mengambil tanah yang dikuasai melewati batas maksimum untuk dibagikan kepada petani kecil, dan Reforma Agraria-lah yang menjadi agenda utama Revolusi Perancis tahun 1787.


Atas dasar sejarah itulah yang menjadi inspirasi Founding Fathers membuat kodifikasi UUD 1945 sebagai landasan konstitusi berbangsa dan bernegara Indonesia dengan merumuskan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang tergantung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Begitu pula alasan kuat Presiden Soekarno mulai membentuk struktur agraria Indonesia dengan membuat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 tahun 1960 pada 24 September 1960 yang mengamanatkan bahwa Negara mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan bumi, air, dan tanah milik Negara digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.



Agraria (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) sudah seharusnya dikuasai oleh Negara yang diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh rakyat, karena tujuan dibentuknya Negara (teori Negara) adalah untuk Material Rechtstaat yaitu mencapai kemakmuran rakyat, serta memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan merata bagi tiap manusia dalam sebuah Negara, sedangkan alat-alat produksi dan distribusi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dimiliki oleh Negara (sesuai Pasal 33 ayat 2 UUD 1945) bagi kesejahteraan seluruh rakyat.

Termasuk pengaturan dan peruntukkan tanah Negara harus didistribusikan untuk kepentingan rakyat. Agenda Reforma Agraria adalah milik rakyat dan untuk rakyat. Reforma Agraria bukan hanya sekadar berbicara masalah tanah dan bagi-bagi tanah untuk rakyat, tetapi membicarakan struktur perekonomian suatu Negara dan peradaban suatu bangsa. Bagi Negara yang ingin maju harus melakukan reforma agraria terlebih dahulu sebagai modal ekonomi rakyat, karena Yunani bisa menjadi peradaban besar, Romawi menjadi Imperium kuat, Inggris-Perancis-Rusia menjadi raksasa dunia, Amerika-Jepang-Korea Selatan-Taiwan menjadi Negara Industri karena telah melakukan reforma agraria. Jika tidak, kemajuan hanya akan menjadi progress floating, fatamorgana, atau kemajuan yang menipu, kemajuan di permukaan tetapi keropos di dalam, artinya kemajuan tidak dirasakan oleh rakyat, rakyat hanya menjadi penonton sebuah drama kemegahan yang diperankan oleh orang lain.


Industrialisasi ekonomi suatu Negara harus melalui proses pembentukan struktur agraria yang pro kesejahteraan rakyat, sehingga industrialisasi ekonomi tidak menjadi liberal yang menjadikan bumi, air, mineral dan sumber daya alam, hutan , tanah perkebunan dan pertanian hanya dikuasai oleh segelintir pemodal dan pihak asing, sedangkan rakyat sendiri tergusur dari tanah dilahirkan. Pada akhirnya sekarang rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan USD2 sehari atau setara Rp18.000, padahal ada 1 persen kelompok elit politik dan pemodal yang hidup glamour di atas penderitaan rakyat mayoritas. Ini adalah sebuah indikasi bahwa kemajuan Industrialisasi dan struktur ekonomi kita berada di rel yang salah. Perlu kita kembalikan ke jalan yang lurus melalui redistribusi kepemilikan dan peruntukkan agraria (bumi/tanah, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) atau yang kita sebut Reforma Agraria.



Ketika Reforma Agraria diagendakan untuk kepentingan rakyat, maka tidak ada masyarakat desa yang lapar karena kemiskinan, yang menganggur karena tidak ada lapangan kerja, yang migrasi ke kota untuk menjadi buruh outsourching (kontrak), yang menjadi TKI atau TKW sebagai kuli dan pembantu. Lantaran tanah, hutan, pegunungan, pantai, pesisir, dan lautan Indonesia yang begitu luas akan menjadi sumber kehidupan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan malah dijual dengan harga murah kepada perusahaan swasta dan asing, sedangkan Negara hanya menjadi alat kapitalis/pemodal untuk menindas rakyat seperti yang dirasakan oleh rakyat Bima dan Mesuji, serta jutaan petani, buruh, nelayan kita lainnya.



Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sudah tidak dihiraukan oleh rezim Negara pro kapitalis, sudah dipetieskan, setelah amandemen ke-4 disusupkan pasal 33 ayat 4 di UUD 1945. Sehingga menjadi legal standing lahirnya UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Penanaman Modal Asing, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, UU Migas, UU Minerba, UU Telekomunikasi, UU Listrik, dan UU Pengadaan tanah yang baru saja disahkan oleh Pemerintah bersama DPR yang melegitimasi penguasaan asing dan pemodal terhadap seluruh sumber daya alam Indonesia.



Mungkin ada benarnya ketika para aktivis berteriak meminta dikembalikannya UUD 1945 pada khittah-nya; yaitu UUD 1945 yang asli sebelum diamandemen. Karena semangat UUD 1945 yang dirumuskan Founding Fathers yaitu dekolonialisasi, deimperialisasi, dan deliberalisasi. Sedangkan UUD 1945 kita sekarang setelah direkayasa sedemikian rupa melalui empat kali amandemen telah menjadi pintu masuk neoliberalisme, neokolonialisme, dan neoimperalisme yang menyengsarakan rakyat.